blog, family, Travel

Umrah Mandiri – Part 1

Assalamu’alaikum, so looooong time since my last post 😆😆

Post dadakan ini dalam rangka saya ingin berbagi pengalaman melakukan umrah mandiri, yang menurut kami sekeluarga adalah salah satu perjalanan yang paling luar biasa yang pernah kami lakukan. Dengan sharing ini saya berharap siapapun yang membaca akan termotivasi, minimal terpasang niat untuk melakukan perjalanan serupa. Jika sharing dari saya bisa membawa teman-teman semuanya sampai ke Makkah Madinah, mohon jangan lupa doakan kami semua agar dilapangkan rejeki dan kesehatan untuk kembali kesana ya ❤️❤️

Tapi ada beberapa note sebelum melanjutkan tulisan ini – yang gak mau baca part ini boleh langsung skip ke Part 2 ya.

Note 1:
Perjalanan ini kami lakukan berempat. Suami + Saya + Ibu + Ibu Mertua. Ibu saya ada kendala di jantung sehingga harus seminim mungkin berjalan. Ibu mertua kondisi lututnya tidak bisa berjalan jauh dan kami bawakan kursi roda – keputusan membawa kursi roda ini yang kemudian kami sesali karena membawanya sangat merepotkan dan ternyata di Makkah Madinah sangat mudah akses untuk meminjam kursi roda di hotel.

Note 2:
Tulisan ini mungkin akan terlihat acak dan random, dan ada beberapa typo. Maafkan karena kondisi saya menulis ini sedang dalam perjalanan lapangan dalam tugas di pedalaman Sumatera (kepulauan Mentawai) yang sedikit kurang kondusif baik dari segi ketersediaan waktu menulis, mood dan energi. Cicil-cicil nulis kalau lagi off shift, atau kalau lagi nyala listriknya buat ngecas laptop (Yup, disini lampunya cuma on 5 pm – 7 am ya, kecuali hari minggu dapat bonus sampai 1pm karena jadwalnya gereja).

Gambar: Ini saya lagi pusing, sampai puncak bukit lagi super panas, selesai ambil data di alat, saya cek laptop buat lanjutin nulis sharing ini, eh tulisannya ilang 😆 Padahal saya bela-belain pagi nulis sebelum hiking ke atas – malam gak bisa kerja krn udah super capek dan ngantuk. Ngulang lagi lah dari awal (klo tulisan ini terposting, artinya gak hilang lagi tulisannya 🤩 – skip tangan yang mulai gosong ya, SPF50++ gak mempan kena matahari Mentawai 🤩

Tapi sini saya tunjukin, apa yang bikin betah di Mentawai buat kerja lapangan walaupun super puanasss… 😍😍 

Bonus 1: superb view. Cantiknya ngalahin Bali 😍😍 Ini view pantai Siberut Tengah dari Bukit tempat alat kami di Desa Saibi, dan masih banyak pantai dengan view yang luar biasa 😍😍

Bonus 2: superb food yang langka banget di kota-kota. Free flow Kelapa Muda fresh dari pohon, fresh karbo dari sagu – surga banget buat saya yang bukan penyuka nasi putih ☺️ -, plus ikan fresh hasil mancing langsung dimasak dan aneka gorengan pakai minyak kelapa bikinan sendiri. What a heaven 🥰🥰

Note 3:
Maaf kalau di part ini disisipin sedikit sharing perjalanan saya ke Mentawai dan kerjaan saya. Note to new reader yang mungkin penasaran dengan kegiatan saya : I’m an Earthquake Geodesist, kerjaannya penelitian tentang gempa dan printilannya seperti memasang beragam alat pengukur gempa, terutama di Sumatera bagian Barat 🐵 Perjalanan lapangan ini dilakukan tepat sekembali saya dari Umrah (tidak ada hari jeda sama sekali 😆). One positive side dari umrah kemaren adalah, saya dilatih keras untuk berjalan kaki dan hiking ke bukit-bukit di pulau Siberut (rata-rata berjalan 4-5 km sehari naik turun bukit dan naik turun kapal). Selama umrah sendiri, terutama di Makkah, saya rata-rata jalan 8-10 km per hari, hanya di Madinah yang santai karena perjalanan kami hanya masjid hotel masjid hotel. Eh tapi disclaimer untuk yang mau ajak orang tua, jangan takut jangan galau ya soal jarak ini, ini khusus kami yang muda kok, kedua Ibu kami sangat minim berjalannya, dan alhamdulillah gak ada kendala dan super lancar semua.

Kembali ke cerita umrah, tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang bertanya-tanya dan ingin arrange umrah trip sendiri juga seperti kami. Saya juga sudah menjanjikan pada diri sendiri bahwa sepulang Umrah mandiri ini saya akan sharing pengalaman saya – jadinya dipaksakan menulis dalam kondisi yang apa adanya. Semoga pesannya sampai, sharingnya bermanfaat, dan diatas semua itu, semoga jadi memotivasi banyak orang diluar sana untuk berumrah mandiri seperti yang kami lakukan.

Jump to Part 2 ya …. 

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog, family, Travel

Umrah Mandiri – Part 6

Untuk sementara, ini akan jadi part terakhir dari sharing rangkaian umrah mandiri kami.

Untuk harga berempat, berikut garis besarnya (saya bulatkan tapi tidak signifikan)

  1. Tiket Padang – Kuala Lumpur: Rp 3,400,000 (ini termasuk beli seat dan bagasi ya)
  2. Tiket Kuala Lumpur – Jeddah dan Madinah – Jakarta: Rp 44,000,000 (ini termasuk pesan seat juga, yang ternyata utk mertua dan di suami dipindah agak ke depan karena pakai kursi roda)
  3. Tiket Jakarta – Padang: Rp 4,400,000
  4. VISA umrah: Rp 13,000,000 (plus bimbingan manasik – dan full response kontak selama di Saudi)
  5. Taxi Jeddah – Makkah: Rp 1,200,000
  6. Taxi Makkah – Madinah: Rp 2,400,000
  7. Hotel Makkah 6 malam: Rp 24,000,000
  8. Hotel Madinah 10 malam: Rp 22,000,000
  9. Taxi Madinah ke Bandara: Rp 400,000
  10. Tipping hotel + Porter (total): Rp 1,000,000
  11. Belanja untuk makan + dll: Rp 5,000,000
  12. Shadaqah (Quran untuk diwaqafkan di masjidil haram dan nabawi) ~ 1,000,000

TOTAL berempat: Rp 122,400,000

TOTAL per orang: Rp 30,600,000 untuk 17 hari umrah

Ini belum termasuk belanja Mandiri ya plus beli Zam-Zam di Bandara Madinah ya (8.21 riyal per galon – 1 galon untuk 1 passport/visa), kemaren kayanya saya habis belanja pribadi sekitar 4 juta, jadi total habis 35,000,000. Ini pasti variatif ya, saya dan ibu sekitar di angka ini belanjanya, Ibu mertua habis sekitar 6 juta belanja pribadi, dan suami hanya habis sekitar 3 juta. Tapi overall, budget ini jauh lebih hemat dibandingkan umrah dengan travel yang sebelumnya saya pakai yaitu 11 hari – 35,000,000.

Oh iya, untuk kursi roda Thawaf dan Sa’i, kami bayar 200 riyal per orang (sekitar Rp 800,000). Untuk Miqat kami bayar 50 riyal (sekitar Rp 200,000) untuk round trip.

Jadi kalau ada yang mau umrah mandiri, harus pintar-pintar nyari tiket + hotel + promo ini itu. Di grup Akademi Passion pak Ubaid dan dari beberapa pencarian, saya lihat ada yang dapat tiket Saudia sampai 5 juta PP. Saya juga sempat dapat tiket 8 juta di awal searching, tapi waktu itu uang belum cukup 😅 dan biasanya promo begini gak lama. Jadi kalau udah ada uang dan niat umrah mandiri, mending langsung stand by dan begitu ada tiket murah langsung purchase.

Note, untuk hotel madinah saya dapat cashback sekitar 2,000,000 jadi lebih hemat lagi. Kalau durasinya lebih pendek atau lebih panjang, ya tinggal hitung kurang lebihnya berapa. Untuk cadangan, kemaren kami masing-masing simpan Rp 5,000,000 cash, dan alhamdulillah gak terpakai sampai pulang.

Untuk belanja disana, kami bawa 1 debit card/ATM (berlogo VISA) punya suami, 1 debit card/ATM saya berlogo Mastercard yang isinya lebih banyak justru ketinggalan di meja pas mau berangkat 😂. Jadi selama umrah kami bergantung pada kartu suami dan saya transfer berkala dari rekening saya ke rekening suami via mobile Banking 😂 

Oh ya untuk ke ATM, saya biasanya pakai Alinma Bank ATM di Madinah. Untuk Makkah kemaren depan hotel kami persis (dekat WC 8) ada Al Rajhi Bank ATM jadi kami coba. Plusnya ada Bahasa Indonesia, minusnya rate-nya lebih tinggi dari Alinma. Kami cuma tarik uang sekali di Makkah. Di Madinah tarik 2 kali dan ambilnya selalu di Alinma Bank ATM (dalam Taiba Shopping Center, masuk dekat pintu 328-329). Pilihan banyak sih, tinggal cari-cari aja mau pakai ATM yang mana.

Untuk belanja, bisa pakai Cash Riyal ataupun Kartu Debit kalau di supermarket. Kalau belanja oleh-oleh mereka terima Jokowi – uang Rp 100,000 – tapi saya gak pernah pakai karena ratenya beda banget saya hitung-hitung. Jadi saya full belanja pakai Riyal. Oh ya, untuk debit card/ATM, saya lebih prefer pakai yg VISA dibanding Mastercard, karena pengalaman sebelumnya, beberapa kali kartu berlogo Mastercard saya error, walaupun gak setiap dipakai.

Kayanya sekian ya sharing dari saya, kalau ada yang dirasa kurang, please comment dibawah ya (atau bisa email ke saya), saya usahakan jawab semampu saya. Maaf saya gak bisa share kontak karena alasan pribadi, tapi monggo kalau mau lebih jelas dan butuh contekan itinerary bisa ke email saya juga, privatezoneofmine@yahoo.com (tapi sementara ini mungkin agak slow response ya selama saya masih di pulau, setelah itu insyaAllah available)

Silakan yang mau ngobrol-ngobrol ringan, atau siapa tau next trip ada yang mau jalan bareng 😁 bisa lah kita atur bersama.

Until then, hope you all find this post useful and help motivate you toward your holy journey. Colek-colek kami dalam doa kalian ya.

Wassalam,

Arisa

* writing, sharing, and waving from Tanah Sikerei, Pulau Siberut, Kep. Mentawai, Sumatera Barat *

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog, family, Travel

Umrah Mandiri – Part 5

Di part ini saya akan share proses pencarian tiket + visa + taxi + hotel + mobil sewa + dll

  1. VISA UMRAH
    Untuk visa, saya banyak search di Instagram, dan ternyata banyak sekali provider visa untuk Umrah Mandiri. Saya kontak beberapa dan tanya-tanya juga. Alhamdulillah akhirnya klik dengan Bapak M. Ubaid (kontaknya saya share dibawah ya). Kurang lebih 5 bulan menjelang umrah – sekitar Juli, saya sudah aktif berkonsultasi dengan beliau tentang segala hal. Alhamdulillah dipertemukan dengan orang yang sangat sabar menjawab semua pertanyaan saya, dan sangat terbuka untuk diskusi. Sekitar 3 bulan menjelang umrah – sambil nunggu tabungan cukup – saya baru eksekusi pembelian tiket dan ngurus visa. Visa yang dibantu pak Ubaid beres 1 bulan menjelang kami berangkat. Untuk harga mungkin teman-teman bisa kontak pak Ubaid langsung ya.
  2. TIKET
    Untuk tiket, sebagian dibantu pak Ubaid, dan sebagian saya book sendiri. Kenapa ada yang dibantu pak Ubaid, karena beliau bisa bantu carikan tiket promo dan harga yang lebih murah dengan akun travel milik beliau, dan harga ini lumayan berbeda jika kita purchase sendiri dengan personal account. Tiket yang saya book via Pak Ubaid adalah pergi: Kuala Lumpur – Jeddah dan pulang: Madinah – Jakarta (Saudia Airlines). Untuk tiket pergi: Padang – Kuala Lumpur dan pulang: Jakarta – Padang saya arrange sendiri.

    Oh ya, untuk yang tanya kenapa berangkatnya via Kuala Lumpur, sudah saya jawab di Part 4 ya. Sedangkan untuk pulang kami memilih Jakarta, dan terbang domestik Jakarta – Padang, demi keleluasaan membawa air Zam-Zam. Untuk penerbangan internasional (Kuala Lumpur – Padang) sudah pasti Zam-Zam kami tertolak, dan harus membeli bagasi lagi. Untuk Jakarta – Padang, Zam Zam ini bisa dibawa sendiri tidak masuk bagasi.

    Oh ya, TIKET ini nih yang paling wajib di-secure di awal. Jadi step paling awal setelah mempelajari semua tentang umrah adalah, mencari tiket. Kalau sudah dapat tiket, baru bisa urus visa. Sementara hotel, harganya sebenarnya sangat stabil, berbeda dengan tiket yang sangat fluktuatif.
  3. HOTEL
    Hotel Makkah saya book via Agoda dan Hotel Madinah saya book via Booking.com. Kenapa berbeda, karena hotel Makkah sedang ada promo di Agoda 😁 dan hotel Madinah dapat harganya lebih murah di Booking.com ini. Ini nyarinya gimana? aplikasinya banyak sih, tapi saya pakai skyscanner aja. Di skyscanner ini bisa cari flight, hotel, dkk, dan nanti akan muncul berbagai jenis harga dari aplikasi yang berbeda. Tiket Saudia sebenarnya saya search juga via SkyScanner, tapi akhirnya minta bantuan Pak Ubaid karena di beliau harga tiket lebih murah.

    Note juga untuk teman, boleh cari yang termurah, tapi aplikasinya harus trusted ya, dan kalau bisa yang costumer service-nya bagus jadi kita kalau mau komplain atau tanya-tanya responsenya cepat. Jangan cari resiko ambil aplikasi abal-abal, ujung-ujungnya zonk padahal harga tiketnya gak murah-murah amat. Intinya harus banyak-banyak baca dan nyari info.

    Oh ya, catatan juga, ambil hotel yang langsung bayar bukan Pay at the Hotel ya, agar bookingan kita secure and guaranteed. Beberapa hotel di Makkah ada yang lebih murah cuma menerima pembayaran di hotel, saya gak berani ambil takut pas sampai sama hotel dibatalkan sepihak karena gak ada pegangan. Tapi ini jarang terjadi. Untuk hotel Makkah dan Madinah, 2 hari sebelum check in saya pasti dapat notif dari hotel untuk reconfirm kedatangan, sekaligus memastikan kita akan check in jam berapa. Semua kanal komunikasi saya pakai dengan kedua hotel ini, baik email resmi, chat via aplikasi booking, maupun via WhatsApp.

    Satu catatan yang saya pakai kemaren, untuk hotel saya selalu ambil yang Free Cancelation, alias gratis kalau mau batal kapan saja (baru berbayar jika batal beberapa hari menjelang kedatangan, atau hangus DP). Kenapa begini? Agar kita masih leluasa pindah-pindah hotel jika nanti ada promo yang lebih murah. Misal di Madinah saya dapat hotel 22 jt untuk 10 malam, saya book. Ternyata 3 hari setelah itu saya dapat iklan bahwa hotel sebelahnya – kelas setara – harganya hanya 20 juta. Jadi saya freely cancel hotel pertama dan book hotel kedua dan menghemat budget. Cara ini lumayan efektif karena saya menghemat beberapa juta tanpa ada kekhawatiran gak akan dapat hotel.
  4. MOBIL SEWA
    Untuk mobil sewa antar kota, saya lagi-lagi dapat dari pencarian di Instagram. Dari beberapa iklan, saya kontak perusahaannya, lalu saya compara harga. Saya sendiri klik dengan Hujjaj Taxi (kontak di bawah ya). Ini sistemnya, kita book via WhatsApp dan lampirkan estimated arrival kita di bandara, nanti pembayarannya 2 kali. DP dibayar via PayPal, dan Pelunasan dibayar ke driver saat kita didrop di hotel. Hujjaj ini saya pakai untuk Jeddah – Makkah dan Makkah – Madinah. Jadi harus dapat mobil sewa yang convincing enough ya, dan mudah-mudahan dapat yang jujur.

    Untuk Jeddah – Makkah kami sampainya sudah jam 10 malam, jadi kereta udah gak ada, bis juga jauh jalannya dari bandara, plus saya gak mau ambil resiko pesan Uber on the spot takut susah nyarinya malam-malam gitu dan kasihan ibu sudah capek tapi masih nunggu-nunggu lagi. Jadi dengan book mobil sejak dari Indonesia begitu, saya sudah tenang karena begitu landing kami sudah ada yang menunggu dan tinggal diantar ke Makkah.

    Menurut Ibu saya yang sepanjang jalan dari Jeddah ke Makkah gak tidur, view malam hari 1.5 jam di jalan Jeddah – Makkah adalah salah satu best view yang pernah beliau lihat. Sayang kami bertiga malah tidur dan baru bangun begitu sampai Makkah 😅

    Untuk perjalanan Makkah ke Madinah saya sudah jelaskan di Part 4 juga kenapa saya pakai Hujjaj Taxi ini. Oh ya, karena kami book beberapa kali, dpat diskon lumayan juga di pemesanan kedua ini 😍 
  5. TAXI
    Taxi kami pakai untuk 1). Miqat, 2). Pergi belanja di Madinah, 3). Visit ke Saudara dekat Makkah. Taxi ini bisa pakai meter atau argo dan bisa nawar juga. Untuk miqat, taxinya bisa nunggu dan bawa kita balik ke Masjidil Haram. Untuk belanja di Madinah, kami pakai taxi yang argo, kenanya lumayan (hampir 2 kali tarif di Uber 😆). Untuk visit saudara, perginya kami pakai Taxi argo kena 35 riyal, pulangnya pakai Careem kena 25 riyal, jadi bedanya tipis (hanya capek karena tempat turun Careen agak jauh dibandingkan taxi). Anyway, semua moda ini bisa dan layak dicoba, masing-masing ada kelebihan kekurangan masing-masing, terserah kita mau ambil opsi yang mana.

Kontak-kontak yang saya pakai berikut ya:

  1. Pak Ubaid – untuk Visa dan Tiket Promo – HP: +62 857-0606-7800 | wa.me/6285706067800 | bisa juga cek di Instagram atau di https://utas.me/akademipassion ya
  2. Hujjaj Taxi – untuk travel antar kota – HP: +966 56 620 5154 | wa.me/966566205154   | bisa juga cek di Instagram

Oh ya, sebenarnya untuk tour dalam kota, bisa tanya pak Ubaid juga, beliau punya tim yang ada di Makkah Madinah juga, bisa bantu kalau mau keliling-keliling. Selain tiket dan visa, saya selalu konsultasi beliau terutama masalah ibadah, jadi beliau provide bimbingan manasik dan juga kami dikirimi buku bimbingan umrah.

Note ya, di sekitaran Masjidil Haram dan Nabawi juga banyak mobil sewa yang stand by kok kalau mau keliling, bisa nego harga tipis-tipis. Jangan segan-segan bertanya dan cari tau pokoknya. Dan untuk hotel, beberapa hotel juga ada shuttle-nya yg bisa antar jemput. Jadi pastiin aja siapa tau teman-teman dapat hotel yang sudah lengkap ada shuttlenya. Untuk hotel kami sayangnya kemaren tidak ada, makanya kami kemana-kemana cari jalan sendiri. 

Nah itu aja proses collecting info, persiapan dan pencarian tiket serta penyusunan agendanya.
Saya mulai collect info 5 bulan menjelang umrah, 3 bulan menjelang kami beli tiket, 2 bulan menjelang sudah book hotel dan urus VISA, sebulan menjelang tinggal finalisasi nyari mobil sewa dan pelajari hal-hal simple seperti terminal kedatangan dimana, plus nyari-nyari hidden gem dan info-info dari postingan-postingan IG. Semua kanal info pokoknya harus disimak, plus difilter biar gak salah info.

Di part selanjutnya saya share rekapan harga dan estimasi kami habis berapa selama 17 hari. Ini saya share di part 6 ya..

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog, family, Travel

Umrah Mandiri – Part 4

Setelah berpanjang lebar tentang latar belakang di Part 1, Part 2 dan Part 3, disclaimer-disclaimer, sharing soal gimana ngatur makanan dll, di part ini saya rincikan itinerary yang kami gunakan:

Day 1: Penerbangan 1: Padang (pagi) – Kuala Lumpur (pagi) + Penerbangan 2: Kuala Lumpur (sore) – Jeddah (malam).

Kami memilih Kuala Lumpur sebagai titik start karena 2 alasan: 1). Karena Padang lebih dekat ke Kuala Lumpur, dan 2). Lebih nyaman daripada ke Jakarta dan siapa tahu nanti kena random check dari orang Kemenag yang konon kabarnya suka ‘razia’ di bandara untuk memeriksa orang-orang yang berumrah mandiri. Kabarnya jika ketahuan akan umrah mandiri, bisa jadi dicekal dan gagal berangkat. Kami dipesan, kalaupun ketemu orang kemenag, jangan jujur-jujur banget bilang mau umrah, bilang aja mau travelling biasa 😆

Untungnya kami di bandara Padang tidak bertemu *jadi berasa kucing-kucingan 😂 dan di Kuala Lumpur sudah aman pastinya.

Oh iya note untuk penerbangan Kuala Lumpur – Jeddah, bahwa sebagian penumpang sudah berpakaian Ihram dan mengambil miqat di pesawat (tepatnya di Yalamlam – ini akan diumumkan oleh kru pesawat, misal 30 menit sebelum miwat untuk persiapan, dan beberapa menit menjelang miqat agar semua bersiap memasang niat dan shalat sunat). Kami tidak mengambil opsi itu karena khawatir suami saya kerepotan harus membawa 4 koper + 1 kursi roda dalam kondisi berpakaian Ihram.

Kami landing di Jeddah pukul 21.20 malam dan proses imigrasinya sangat cepat (berbeda dengan imigrasi kami sewaktu di Madinah yang memakan waktu 1-2 jam karena panjang nya antrian, di Jeddah hanya antri 5 – 10 menit). Di pintu kedatangan kami sudah ditunggu oleh Taxi yang saya pesan sebelumnya, untuk mengantarkan kami ke Makkah (detail harga dan nama taxi serta kontaknya saya buatkan di part terpisah ya). Kami sampai di Makkah (Makkah Tower and Hotel) sekitar pukul 12.00 malam dan langsung check in di hotel.  

Note bahwa hotel kami pesan kamar untuk 4 orang, tidak include sarapan apalagi 3x meals seperti kebanyakan umrah travel. Ini sangat menghemat karena harga paket catering di Makkah Madinah lumayan mahal.

Paginya kami bisa langsung subuhan di Masjidil Haram. Kelegaan pertama adalah melihat ibu saya sangat bahagia karena begitu turun lift hotel, langsung sampai di pelataran masjid tanpa harus berjalan jauh. Hotel ini persis di depan WC 8 (sangat dekat ke pintu 79 – pintu ke Mathaf untuk Thawaf). Ini sesuai sekali dengan target kami yaitu hotel harus super dekat dari masjid. Ini juga salah satu penyemangat kami untuk selalu bergegas menuju masjid.

Day 2: Kami mengambil miqat setelah sarapan. Untuk miqat, kami menggunakan taxi (banyak taxi stand by menunggu di Jl. Jabal Omar), dan taxi nya bisa dipakai round trip, mereka akan menunggu kita miqat lalu mengantar kembali langsung ke dekat pelataran haram. Mungkin ada yang bertanya kenapa kami tidak pakai Uber, karena Uber berhentinya agak kebawah sedikit dari Jabal Omar street, jadi harus jalan sedikit – sementara kami meminimalisir berjalan karena pertimbangan ibu dan mertua yang sudah sepuh. Uber (dan Careem juga), saat menurunkan di sekitar masjid Haram juga tidak bisa sampai ke pelataran seperti taxi, tapi agak jauh sedikit. Mungkin ini perlu teman-teman semua pelajari juga saat nanti harus memilih moda transportasi di sekitaran haram, terutama saat membawa orang tua.

Umrah baru kami lakukan malam hari. Alasan pertama karena siang sangat panas, suhu 36 C itu sudah sangat terik bagi kami yang berasal dari daerah gunung yang suhunya jarang menembus angka 30 C). Alasan kedua, dan qadarullah juga, dari Dzuhur hingga Isya ada badai dan hujan lebat di Masjidil Haram sehingga otomatis kami tidak keluar kamar hingga malam. Umrah dimulai ba’da Isya dan selesai hampir jam 10 malam. Ini jadi catatan bahwa umrah selanjutnya akan kami lakukan di siang hari saja agar setelah umrah bisa istirahat. 

Untuk miqat mungkin ada yang bertanya bertanya, kenapa tidak pakai bis miqat gratis (bus no. 12)? Alasan pertama karena kondisi Ibu mertua saya cukup kesulitan naik tangga bis yang lumayan tinggi, dan alasan kedua karena tempat naik bisnya lumayan jauh dari hotel kami, yaitu di bus stop di belakang hotel Anjum. Perkiraan butuh berjalan kaki sekitar 800 meter (saya cek via maps), dan alhamdulillah kami tidak mengambil opsi ini karena ternyata pas kami lihat jalannya agak nanjak dan saya yakin ibu saya tidak akan kuat kalau harus berjalan kaki seperti itu.

Info yang pernah saya baca lagi, di Tan’im nya juga bus berhenti lumayan jauh karena tidak bisa masuk ke kompleks masjid. Yang artinya harus jalan lagi. Dan benar, saat miqat di Tan’im kami lihat hanya taxi yang bisa masuk kompleks masjid, sementara bus menunggu agak jauh keluar. Sementara taxi (dan uber/careem) bisa langsung masuk dan menunggu di depan pintu masjid dan khususnya taxi, mereka mengantar hingga dekat pelataran masjidil Haram. Opsi taxi ini kami pakai untuk ketiga umrah yang kami kerjakan.

Ohya, di umrah pertama ini, kedua ibu kami dorong dengan kursi roda sejak dari hotel, thawaf, hingga sa’i. Selesai umrah baru berasa kami berdua overtired karena jarak lintasan thawaf berkursi roda kira-kira 3-4 kali lebih jauh dari thawaf di pelataran. Untuk Sa’i memang sedikit lebih pendek karena lintasannya ada di tengah. Namun ada haru tersendiri berhasil mengantar kedua ibu kami berumrah bersama kami dan rasanya capeknya terbayar sekali.  

Day 3: Istirahat, terutama kami berdua yang sangat kelelahan karena umrah pertama. Ibadah kami lakukan full di Masjidil haram. Kami tidak melakukan tour apa-apa selama di Makkan karena memang fokus kami adalah umrah dan recover tenaga terutama ibu yang lumayan kecapean karena umrah pertama baru selesai jam 10 malam.

Day 4: Miqat untuk umrah kedua juga kami lakukan di Masjid A’isyah di Tan’im. Note bahwa kami tidak mengubah lokasi mengambil miqat untuk ketiga umrah. Pada umrah kedua ini, Ibu saya disewakan kursi roda untuk thawaf dan sa’i karena memang kondisi jantung beliau tidak memungkinkan untuk berthawaf dan sa’i dengan berjalan kaki dan kondisinya kami juga kesulitan mendorong sendiri. Dan ini enak banget, jadi kita bisa janjian di Marwa setelah masing-masing beres Sa’i. Khusus ibu saya, yang dorong kursi rodanya baik banget, do’a diulangi biar gak lupa, diambilin zamzam untuk minum setelah thawaf, dan ditemenin shalat (ini kami juga stand by mendampingi Ibu).

Day 5: Istirahat seperti hari ke-3. Kami fokus shalat 5 waktu di masjid, dengan catatan: Berangkat jam 3.30 pagi ke masjid untuk tahajjud, witir, dan shalat-shalat serta dzikir yang dianjurkan sembari menunggu azan subuh. Ba’da Subuh kami lanjut dzikir dan ngaji menunggu Syuruq. Setelah syuruq, kami sarapan, lalu mengunjungi salah satu keluarga suami. Sebelum zuhur kami sudah kembali ke hotel. Ba’da Maghrib, saya janjian di Mathaf dengan suami untuk melaksanakan thawaf sunat. Seperti yang kita ketahui, 3 ibadah utama di Masjidil Haram adalah Umrah, Thawaf dan Shalat. Maka perlu diupayakan memperbanyak melakukan ketiganya. Jika tidak sanggup umrah, maka cukup berthawaf. Jikapun thawaf tidak sanggup, maka cukup memperbanyak shalat. Thawaf sendiri atau berdua suami ini nyaman sekali menurut saya ketimbang thawaf dalam rombongan.

Day 6: Miqat untuk umrah ketiga, di Tan’im. Pada umrah ketiga, saya akhirnya Thawaf dan Sa’i berdua suami (impian saya sejak dulu itu sederhana, bisa gandengan sama suami ke masjidil haram, thawaf berdua, berdoa berdua di depan ka’bah, lalu sa’i berdua. Maha Kuasa Allah mewujudkan impian kami dengan cara yang sangat luar biasa. Untuk kedua ibu, di umrah ketiga ini beliau berdua sudah kelelahan sehingga sejak thawaf kami sewakan kursi roda.

Day 7: Ba’da Subuh kami melakukan Thawaf Wada’. Pada Thawaf Wada’ ini kedua Ibu kami memaksakan diri untuk berjalan, sehingga kami melakukan thawaf sedikit pelan, agar beliau tidak kelelahan. Diluar prediksi saya, ibu kami mampu menyelesaikan thawaf ini dengan sempurna. Tentu juga karena panjang lintasan jauh lebih pendek karena kami thawaf langsung di depan ka’bah. Setelah Thawaf Wada’, kami berkemas untuk menuju Madinah (berangkat dari Makkah jam 13.30 dan sampai Madinah sekitar jam 18.30  – ini sudah plus macet menjelang Nabawi di waktu Maghrib). 

Transportasi yang kami targetkan di awal untuk menuju Madinah adalah bis Saptco, namun Qadarullah beberapa hari sebelum kami berangkat, perusahaan Saptco ini menutup semua transportasi antar kotanya. Kami mencoba mencari Kereta Cepat, namun karena sudah dekat keberangkatan, tiketnya jadi jauh lebih mahal. Alhamdulillah Allah mudahkan karena travel yang sama yang kami gunakan di hari pertama dari Jeddah ke Makkah bisa mengantarkan kami ke Madinah, bahkan dengan harga yang jauh lebih murah daripada kereta cepat. Mobil yang kami gunakan adalah Toyota Hi-Ace 7 seater, memuat kami 4 orang dan seluruh barang bawaan kami. Perjalanan memakan waktu 5 jam dari hotel di Makkah ke hotel di Madinah. Satu hal yang juga saya rasa sangat Allah mudahkan untuk kami adalah, ketika akan menggunakan bis ataupun kereta cepat, artinya kami perlu tambahan transport dari hotel Makkah ke stasiun/terminal, dan tambahan transport dari stasiun/terminal menuju hotel Madinah, yang tentunya akan sangat menguras energi kami terutama suami sebagai bagian angkat-angkat koper. Alhamdulillah karena menggunakan mobil sewa, kami langsung naik di depan hotel Makkah dan turun langsung di depan hotel Madinah. Oh iya, kami tinggal di Nozol Royal Inn Hotel di Madinah, posisinya sebelahan Hilton, tidak sampai 100 meter ke Nabawi. 

Kami sampai di Madinah menjelang Maghrib (tidak terkejar maghrib karena jalan ke Masjid Nabawi sangat macet menjelang waktu shalat). Baru setelah check in, bersih-bersih, untuk Isya kami bisa shalat di Nabawi dan memulai rangkaian target Arbain kami 40 shalat wajib. 

Day 8 – Day 16 kami fokus mengejar Arbain, tidak melakukan perjalanan dan tour kemanapun, kecuali belanja oleh-oleh di sekitaran Nabawi, atau pergi berkunjung ke hotel lain karena kebetulan ada teman Ibu yang juga umrah di waktu bersamaan. Ah iya, ada sekali kami pergi yaitu ke toko outdoor karena rice cooker kami rusak di hari ke-11. Mau tidak mau masak nasi dan lauk harus pakai kompor – kami bawa kompor portable – dan butuh gas.

Gas ini kami cari-cari di Bin Dawood tidak ada, hingga kami terpaksa hunting gas di Madinah (dan hanya dijual di toko outdoor di luar area Nabawi – dekat Masjid Quba). Untuk hunting gas kami pakai taxi yang langsung mengantar pergi dan pulang. Kami membeli 2 tabung gas – hitungannya lebih dari cukup untuk masak 6 – 7 hari ke depan (note, harga gas hanya 5 riyal per tabung tapi taxi kesananya hampir 10 kali lipatnya 😂). 2 tabung ini cukup untuk kami pakai hingga pulang (sisanya dibuang). Hanya tricky sedikit mengakali kamar yang tidak ada exhaust tapi kami perlu memasak. Tapi dulu kerjaan seperti ini sudah sering kami lakoni semasa kuliah, jadi masalah bisa diatasi. Oh ya, untuk memasak nasi juga kami memasak manual dengan kompor dan wajan..

Day 9: Saya dan ibu saya dapat jadwal masuk Raudhah jam 21.00 malam. Jadi dari maghrib kami sudah stand-by sholatnya dekat dengan pintu 33 (Note: Raudhah di pintu 41 – dan jalur masuk Raudhah adalah pintu Bab As Salam). Ibu saya dorong dengan kursi roda, karena sepengalaman kami dulu dengan travel, antrian raudhah sangat melelahkan, sampai harus lari-larian. Mengingat ibu tidak akan kuat berdesakan, kami memilih opsi kursi roda. Oh ya, antrian masuk raudhah lewat nusuk ini dilaunching tiap hari Jumat, jadi ketika di Makkah hari Jumat, kami langsung standby login nusuk di semua HP untuk mengambil antrian. Untuk laki-laki jadwalnya lebih banyak, sehingga saat suami saya demam, jadwalnya masih bisa dicancel dan ambil jadwal baru. Untuk muslimah, jadwalnya cepat sekali penuh, jadi memang harus buru-buru ambil begitu dilaunch.

Day 10: Saya masuk Raudhah lagi, kali ini dengan Ibu mertua. Caranya sama persis dengan kemaren. Nah, kalau ada yang tanya kenapa saya bisa pakai Nusuk 2 kali? Jawabannya karena saya iseng pakai akun lama saya – passport lama dan visa umrah lama yang dari travel – ternyata masih bisa dipakai buat login dan ambil jadwal. Jadi saya dapat masuk Raudhah 2 kali dengan 2 akun yang berbeda. Mungkin bisa dicoba kalau yang mau masuk raudhah. Atau kalau teman-teman punya saudara yang sudah balik umrah, pinjam aja akun nusuk mereka untuk login dan ambil jadwal raudhah, ini bisa lho. Hanya saja yang harus diingat, setelah dipakai masuk, kita gak bisa lagi ngambil antrian di akun yang sama – info pernah saya baca, harus lewat 1 bulan hingga 45 hari. Dengan cara yang sama, suami saya juga bisa masuk raudhah 2 kali. Sementara Ibu hanya bisa sekali karena kedua umrah hanya berganti visa, passportnya sama, jadi tidak bisa buat akun baru di Nusuk.  

Day 15: Target arbain 40 sholat fardhu tuntas di waktu maghrib hari 15 ini. Jujur bertahan dan konsisten menjaga waktu sholat ini jauh lebih berat karena sangat panas siang ke sore hari dan tidak boleh ketinggalan takbiratul ihram. Saya jujur bangga melihat kedua ibu bisa bertahan hingga mencapai target. Note bahwa saya hanya bisa ikut arbain hingga hari kelima karena keburu haid besoknya. Untuk pulang pergi ke masjid, kedua Ibu bisa sendiri, sejak di Makkah juga beliau berdua sudah hafal jalan, ngerti cara naik turun lift, hafal lantai dan nomor kamar, serta ngerti cara keluar masuk kamar sendiri. Beliau berdua hanya dititipin tidak boleh lupa bawa HP dan kunci kamar.

Day 16: ini adalah hari kepulangan kami ke Indonesia dengan rute Madinah – Jakarta – Padang. Jadwal pesawat kami adalah sore dari Madinah. Setelah syuruq kami jalan-jalan dulu sekeliling buat foto-foto plus beli ayam Albaik (beli-beli yang lain – yang tidak terlalu banyak – sudah kami cicil tiap hari di Madinah). Walaupun terbang sore, tapi selesai berkemas pagi, jam 10 pagi kami sudah ready untuk menuju bandara. Karena setelah berkemas rasanya lebih tenang menunggu di bandara ketimbang di hotel, jadinya kami langsung pesan taxi (yang besar) untuk mengantar ke bandara.

Gambar: Saya + Ibu di depan Kubah Hijau Nabawi, hari terakhir umrah

Day 17: Perjalanan ditutup dengan rasa puas dan kesan yang sangat mendalam untuk kami. Ibu saya sangat senang karena semua ibadah yang beliau targetkan bisa dicapai – minus kami tidak jadi mengunjungi masjid Quba karena saya lebih minta ibu istirahat setelah syuruq ketimbang tour – agar Zuhur nya tidak telat dan masih ada energi. Intinya fokus kami adalah ibadah di masjid Nabawi. Kami sampai di Jakarta sekitar jam 7 pagi.

Untuk rekap harga dan kontak-kontak yang amat sangat membantu perjalanan kami, saya tulis di Part 5 ya..

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog

Umrah Mandiri – Part 3

Part ini diawali dulu dengan disclaimer dari saya, biar nanti pas pembaca lihat hitung-hitungan budget umrah mandiri kami gak sampai bertanya-tanya, “kok gak murah-murah banget”, atau “kok sama aja sama umrah sama travel harganya”, dll.. Tahan dulu ya komennya..

Jadi ada 3 disclaimer sebelum cerita umrah mandiri ini kita lanjut ya..

Disclaimer pertama, saya sebagai yang merencanakan perjalanan ini bukan pemula untuk travelling baik dalam dan luar negeri, sejak usia awal 20-an (saat ini saya 38 tahun), saya sudah terbiasa berperjalanan ke banyak daerah di Indonesia, beberapa negara Eropa, Amerika, Asia (plus saya sudah pernah tinggal di luar negeri dalam waktu yang lumayan lama), tentunya bekal pengetahuan, pengalaman, kemampuan beradaptasi dengan keadaan, dan komunikasi saya sudah sangat cukup untuk mengatur perjalanan ini (catat bahwa selama umrah ini hanya Bahasa Inggris yang saya gunakan, saya tidak bisa Bahasa Arab – bahasa Indonesia hanya jamak digunakan pedagang dan beberapa staf hotel yg sering digunakan jamaah Indonesia, diluar itu masih sangat sulit jika hanya berbahasa Indonesia – menurut saya).

Menurut saya kesiapan mental dan bahasa ini yang perlu menjadi pertimbangan untuk berumrah mandiri, terutama dalam masa persiapan – hunting tiket dan hotel, cari-cari info transportasi lokal, dan paling utamanya tentunya saat pelaksanaan umrah.

Tetapi khusus untuk umrah ini, saya selalu tekankan pada keluarga saya, semampu apapun saya biasanya, tapi saya hanya akan mengusahakan menyiapkan semuanya, pada akhirnya saya bertawakkal pada kemana dan bagaimana Allah menerima dan menyambut kami untuk menuju tanahNya yang Suci. Saya tidak berani mengandalkan diri saya 100%, biar Allah yang membuka jalanNya, dan ini benar-benar kami buktikan selama perjalanan kami.

Disclaimer kedua, seperti terlihat di Part 2, bahwa latar belakang perjalanan kami adalah mencari umrah yang sesuai dengan kemampuan dan kemauan kami. Dan bahwa perjalanan kami bukan umrah backpacker yang mengejar target harga yang lebih murah dari travel ya (walaupun setelah dihitung semua, tetap saja lebih murah dari travel). Seperti hotel, kami juga tidak mencari yang termurah tanpa pertimbangan jarak, justru hotel kami sangat dekat dengan masjid. Dari moda transportasi disana, untuk dalam kota kami selalu menggunakan taxi, dan mobil sewa jika antar kota spt Jeddah – Makkah dan Makkah – Madinah. Lagi-lagi ini dengan pertimbangan kami membawa cukup banyak barang dan hanya ada 1 orang laki-laki yang leluasa untuk mengangkat barang, sementara saya bertugas fokus memastikan itinerary kami berjalan, menyiapkan semua makanan, sekaligus memastika kedua ibu kami nyaman dan aman selama umrah.

Disclaimer ketiga, pada akhirnya penghematan sangat signifikan adalah pada makanan, karena kami baru bersikap backpacker pas giliran makan. Dalam 17 hari perjalanan, 7 hari pertama di Makkah kami membeli protein, sayur dan buah.  Untuk memasak, karena pertimbangan Ibu kami juga yang memang tidak terlalu cocok dengan makanan selain Indonesia, kami membawa lumayan banyak bahan masakan dan peralatan masak.

Peralatan masak yang kami bawa adalah:

  • Rice cooker
  • Kompor gas portable (hanya terpakai di Madinah, gas dibeli di toko outdoor di Madinah), di hotel Makkah disediakan mini kitchen lengkap dengan kompor listrik
  • Wajan ukuran sedang
  • Blender portable. Ini selera saja karena saya memang suka ngejus dan lebih nyaman makan sayur dalam bentuk smoothies bersama buah ketimbang dimasak.

Masakan dan bahan masakan yang kami bawa adalah:

  • Rendang (kami bawa 5 bungkus kemasan 300 gr – buatan sendiri, bukan beli jadi)
  • Dendeng sapi (kami bawa 2 bungkus kemasan 250 gr – beli jadi)
  • Sambalado alias sambal cabe merah (Ibu saya bawa 5 bungkus kemasan masing-masing 75 gr – buatan sendiri dan Ibu mertua saya membawa 500 gr) – ini cukup sampai hari ke 15 sepertinya, 2 hari terakhir kami terpaksa nyambung dengan sambal lampung (beli di Bin Dawood banyak)
  • Bumbu jadi – saya bikin bumbu padang dengan cabe merah, jadi untuk masak tinggal dididihkan dengan air dan bisa ditambahkan ayam, daging atau telur. Kami lebih dominan ayam dan telur, semuanya kami beli di Abraj Hypermart di Makkah dan Bin Dawood di Madinah.
  • Untuk menu lain seperti nugget, aneka fillet ikan dan ayam kami beli di Makkah Madinah.

Untuk memasak, selama di Makkah kami lebih banyak menghangatkan lauk yang dibawa dari Indonesia dengan kompor listrik dan microwave di mini kitchen (artinya lengkap dengan exhaust, dan tidak akan ada masalah asap saat memasak. Nasi dimasak dengan rice cooker. Pemanas air dan kulkas tersedia. Beberapa kali kami membeli lauk tambahan seperti ayam dan telur serta sayuran dan buah ke Abraj Hypermart. Tidak ada kesulitan memasak karena mini kitchen ini sudah comfort zone saya untuk menyiapkan makanan. Suami dan kedua Ibu juga sangat nyaman dengan kondisi di hotel Makkah ini.

Sedikit kendala kami temui di Madinah karena kamarnya tidak menyediakan mini kitchen. Kami mengakali hanya bisa memasak dengan rice cooker baik nasi maupun lauk. Dan qadarullah diuji sedikit karena di hari ke-12 rice cooker kami rusak, tapi alhamdulillah ada solusinya.

Note, kami gak pernah sama sekali makan diluar. Walaupun setiap lihat feed IG muncul rekomendasi resto-resto murah meriah atau resto-resto ‘must-try’, tapi kami memutuskan gak makan diluar, balik ke cerita part sebelumnya, bahwa ibu saya kurang cocok dengan makanan selain Padang. Saya sih sebagai penggemar masakan Timur Tengah dan Asia Selatan mau-mau aja berburu Biryani atau Nasi Mandhi, tapi gak nemu moment juga buat sana sini..

Di part 4 saya akan sharing pelaksanaan ibadah kami selama 17 hari tersebut ya.. 

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog

Umrah Mandiri – Part 2

Sebelum masuk ke cerita umrah mandiri, ijinkan saya share latar belakang saya nekat dan memaksa suami dan ibu untuk berumrah mandiri.

Alasannya, kami sekeluarga sudah pernah melakukan umrah dengan travel, terakhir Januari 2023, kami berumrah 9 hari (+2 hari karena kami berangkat dan pulang dari/ke Padang sementara travel adalah dari Jakarta. Saat itu musim cukup dingin, cukup enak buat dibawa ibadah. Lalu apa minusnya? Jadi kemaren rute kami di travel adalah:

Day 0*: Padang (siang) – Jakarta (sore). Stay di hotel dekat Bandara (ini belum masuk hitungan kegiatan dari travel ya)

Day 1: Jakarta (subuh) – Madinah (ba’da ashar). Dari Maghrib kami sudah bisa sholat di Nabawi alhamdulillah.

Day 2: Subuh di Nabawi. Ba’da Subuh masuk Raudhah dengan Tasreh dari travel. Ibadah full di Nabawi 

Day 3: Tour ke Uhud – Kebun Kurma – Jabal Tsur – Arafah – Masjid Quba dan lain-lain

Day 4: Ibadah full di Nabawi – tour keliling ke masjid-masjid dekat Nabawi

Day 5: Madinah (siang) – Makkah (malam). Berhenti di Bir Ali untuk Miqat. Malam hingga dini hari: Umrah pertama.

Day 6: Tour ke Thaif. Seharian

Day 7: Umrah kedua. Miqat di Ji’ronah. Tour ke Mina. Muzdhalifah. Umrah ba’da ashar hingga Isya.

Day 8: Umrah ketiga. Miqat di Tan’im. Umrah dhuha ke siang.

Day 9: Dini hari pulang. Jeddah – Jakarta. Sampai Jakarta tengah malam.

Day 10*: Jakarta (siang) – Padang (sore). Ini juga agenda kami pribadi dan diluar arrangement travel.

Nah, dari jadwal kelihatan ya, bahwa di travel banyak banget tournya, dan malah lebih didahulukan daripada umrahnya (Madinah dulu baru Makkah). Saya sudah hunting sekian travel, sedikit sekali yg Makkah dulu baru Madinah.

Jujurly, 4 hari di Madinah dengan segala agenda tournya berasa udah capek banget (sebagian tour saya skip karena mau istirahat terutama ibu saya yang sudah sepuh – 70 tahun – perlu dihemat tenaganya), dan kami lebih fokus mengejar jamaah 5 waktu di Nabawi.

Di Makkah juga umrah plus tour, dalam waktu 4 hari. Saya pribadi jujur sudah kelelahan sejak di Madinah (salah saya pribadi juga, karena sebelum umrah saya full berkegiatan di lapangan hampir 3 minggu dan fisiknya sudah lumayan capek, plus saya juga yang menyiapkan umrah kami sekeluarga – capeknya double..). 

Trip ke Thaif saya dan Ibu lagi-lagi skip karena badan sudah tidak sehat rasanya. Hari ketiga di Makkah saya masih ikut berumrah plus tournya. Saya pribadi hanya sanggup umrah 2 kali (1 umrah diri sendiri dan 1 membadal-umrahkan almarhum ayah saya).

Di umrah kedua ini, saya sudah di posisi gak ada energi lagi, sampai saat sa’i pun saya tiap satu jalur harus istirahat. Akhirnya kami selesai jauh lebih lama dari rombongan yaitu jam 9 malam, sementara yang lain selesai sebelum Isya. Itupun saya sudah dipapah pulang ke hotel karena sudah dalam kondisi demam tinggi. Hal yang lain yang lebih melelahkan karena hotel kami cukup jauh yaitu Le Meridien Tower (ini harus naik shuttle dari depan hotel ke bus stop, lalu jalan dari bus stop ke Masjidil Haram).

Sepulang umrah kedua saya sudah tumbang, dan tidak ikut lagi umrah ketiga. Sakit ini disambung sampai Indonesia. 

Dari pengalaman ini, saya pribadi menyesalkan padatnya kegiatan dari travel, tapi tidak punya pilihan banyak untuk tidak bergabung. Kami juga tidak punya keleluasaan ke Masjid Nabawi dan Haram karena selalu menunggu arahan dan agenda bersama rombongan. Selain itu, saya merasa waktu 9 hari sangat kurang, mengingat diisi dengan banyak tour plus saya sakit, sehingga sangat minim waktu saya untuk i’tikaf dan beribadah full di masjid.

Hal ini menjadi pendorong utama saya untuk melakukan umrah mandiri, dimana saya:

  • bisa memilih hotel terdekat sehingga gampang bolak balik masjid
  • bisa memilih ke Makkah dulu sehingga fokus utama umrah bisa dikejar
  • bisa memanjangkan waktu perjalanan, dimana kami total berumrah 17 hari (7 hari di Makkah – 3 kali umrah dan 10 hari di Madinah sehingga bisa mengejar Arbain – shalat jamaah 40 kali tanpa ketinggalan takbiratul ihram)
  • bisa memilih mau tour atau tidak – karena kami terutama orang tua saya memang lebih ingin fokus shalat di masjid dan tidak terlalu kuat untuk tour sana sini yang terlalu jauh.
  • bisa berkegiatan bebas tanpa harus terikat agenda rombongan

Kelima hal inilah yang akhirnya menurut saya, hanya bisa kami peroleh jika kami mengatur sendiri perjalanan kami dari segi akomodasi, transportasi, makan, ibadah, dll.

Masuk Part 3 ya untuk rincian hotel, penerbangan, visa, dll…

Tulisan selengkapnya..

Umrah Mandiri Part 1

Umrah Mandiri Part 2

Umrah Mandiri Part 3

Umrah Mandiri Part 4

Umrah Mandiri Part 5

Umrah Mandiri Part 6 (akhir)

blog

My second blog – Dsy

Well, I know that now I do not post frequently, as I did before..
It is mostly due to my busy time at school. Yeah, I’m on the last year of my PhD, and I wish I will complete it by September 2016, Amiin for that..

So, currently, I deal with my project more than I did, and it makes me forget many ‘side’ jobs for a while, including writing stuffs here..

But hey, it is not that I do not write at all, hehe..
Now I decide to split my blog and make it more specific..
I have been planning to write more about science but at the same time worrying that it will make my blog too serious, and seems like it won’t be match my older post which is mostly personal..

So I finally decide to make another blog, focusing on more serious stuffs like my study and research, so this page can be kept being itself, my place to share random stuffs, hahaha..

So if anyone interested in seeing my works and science-related topics, please feel free to step here..
I am still collecting my writings to post, so it’s still so ‘silent’ there. But hey, my baby will be growing, let’s enjoy!!

Sapporo, 4 December 2015

Deasy,
From the Frozen Sapporo, which feels a bit warmer these few days ^^

blog

Sang burung bersayap patah

Sang burung itu sudah lelah terbang, dan dia ingin pulang..

Terbang pulang menuju sarangnya..
Harapnya adalah mendapat peluk induknya..
Harapnya adalah membawa binar bahagia di istananya..
Mimpinya adalah memamerkan sayap kuatnya..
Menghangatkan hati induknya..
Membanggakan hatinya ketika sang burung pulang dengan gagah..

Tapi dia pulang membawa luka..
Haruskah dia berkata apa adanya, “Ibu, sayapku patah”
Haruskah dia menggoreskan luka di hati hangat itu?
Haruskah dia menangis dalam pelukan sang induk?
Menceritakan padanya betapa dia sudah hancur?
Melepaskan beban hatinya, pada sang induk..
Betapa sekian rangkaian mimpi dan impiannya sudah terkubur, patah, seperti patahnya sayapnya..

Apakah sang burung sanggup, menggoreskan luka di hati tua penuh harap itu?
Apakah dia mampu, menyandarkan sayap patahnya pada sang induk, dan mengubur hati hangat itu dalam lukanya?

Sang burung harus mencoba tegar..
Kembali terbang dengan sisa-sisa sayapnya..
Merangkai lagi mimpi baru..

Dan merelakan mimpinya yang terkubur..

Sang burung akan pulang, dengan sayap patahnya..
Tapi dia akan tegar di mata induknya..
Dia hanya ingin hati hangat itu tetap hangat..
Tempat dia menyandarkan lelahnya..

Sayapnya sudah patah, tapi hatinya tidak..
Sebagian hatinya sudah patah, tapi hati induknya harus tetap utuh..
Hatinya penuh luka, tapi dia harus tetap ceria dan penuh bahagia..
Mimpinya sudah patah, hancur, namun dia ingin pulang, memberi tahu induknya, bahwa segalanya baik-baik saja..

Sapporo, 22 Nov 2015

blog, days, family

I am ‘cheese’-ing (Part 2) – Dsy

Ini sambungan cerita dua minggu yang lalu tentang proses saya belajar bikin keju. Lengkapnya saya tulis di I am ‘cheese’-ing (Part 1)
Jadi ceritanya, rasa penasaran karena percobaan pertama gagal bukannya berkurang, malah bertambah. Apalagi karena sudah tahu salahnya dimana 😀
Jadi sepulang dari Nagoya dan sedikit ada waktu, mulailah kami bereksperimen lagi. Kali ini agak ragu, takut tidak bisa menemukan susu yang dibutuhkan, karena rata-rata susu di Jepang adalah susu yang sudah dipasteurisasi. Tapi saya sih yakin saja, karena Hokkaido itu lumbungnya susu, jadi mustahil susu ini tidak ada di pasaran.
Berbekal rasa penasaran, tadi saat mampir ke AEON, sepulang dari dokter (yah, saya sekarang sedang rajin bolak-balik ke dokter, long story!), kami menemukan susu yang tidak dipanaskan di suhu tinggi. Jika sebelumnya susunya dipanaskan hingga 130 C selama 2 detik, sekarang kami beralih ke susu yang dipanaskan di suhu 65 C selama 30 menit. Bedanya, susu kali ini harganya hampir dua kali lipat, jadi agak takut kalau salah lagi, berat di ongkos, hehehe..
Akhirnya kami membeli 2 liter saja, rencananya dicoba 1 liter dulu, kalau sukses baru lanjut lagi (namanya juga hemat, hehehe)
Sepulang dari lab tadi maghrib, sambil menunggu suami pulang, saya mulai menyiapkan semuanya..
Hasilnya alhamdulillah seperti yang diharapkan ^^
Dan karena moodnya bagus, jadi sempat foto-foto, dan lengkapnya saya posting di album belajar bikin keju ini.
Sebagai gambaran, keju mozarella seberat 60-an gram biasanya kami beli dengan harga 400an yen, hmm, mahal ya, makanya jadi pengen bikin sendiri. Sekarang, dari 1 liter susu, bisa dapat 130an gram mozarella, such a big ball of cheese, I am a happy woman!
Melihat saya berhasil, ada yang gak mau ketinggalan, hehehe. Jadi setelah berhasil membuat 130an gram mozarella dari 1 liter susu, sekarang suami sedang sibuk dengan keju cheddar. Sayang kalau keju cheddar butuh semingguan, jadi akan saya update lagi nanti. Tapi setidaknya, curd nya sesuai yang diharapkan, tinggal menunggu proses fermentasi dan hasilnya nanti seperti apa.
Sekian update kali ini.
Sapporo, 29 September 2015
Deasy, yang ‘dipaksa’ bikin pizza besok pagi, karena sudah bisa bikin keju mozarella sendiri ^^
blog, days, family

I am ‘cheese’ing (Part 1) – Dsy

Mari belajar membuat keju, itu judul project bulan ini, dikarenakan saya dan suami adalah penggila pizza dengan topping keju yang melimpah 😀 Berawal dari mahalnya harga keju (terutama mozarella), jadi kepikiran belajar membuat keju sendiri.

Proses pertama sudah dimulai suami beberapa minggu lalu. Karena belum punya tablet rennet, suami memakai koagulan pengganti (bisa cuka atau air asam), dan akhirnya dipakai air lemon. Proses hingga membuat curd dan whey terpisah masih berhasil, namun kelanjutannya gagal, dan waktu itu belum tau penyebabnya apa, hmm..

Karena penasaran, saya memutuskan pakai rennet, mungkin ada yang ingat beberapa hari yang lalu saya posting kalau rennet saya sudah sampai, dan baru sempat malam ini mempraktekkannya.

Teori sudah hafal luar kepala, bahannya lengkap, dan siap di dapur (2.5 jam, minimal, katanya).

Jam 19:00 tadi saya mulai prosesnya..

Semangat, sampai curd dan whey terpisah masih lancar. Rencananya whey ini saya simpan untuk buat ricotta cheese..

Curd-nya saya olah, niatnya tentunya mozarella, dan saya ikutilah step step yang sudah saya pelajari..

1.5 jam kemudian, tangan saya sudah panas karena dough atau curd ini harus saya knead (hmm, knead, uleni kali ya, bahasa kita-nya).

Kebayang tangan saya harus menguleni hingga curd tadi jadi berwujud mozarella..

1 jam kemudian, gak jadiiiii..

Saya frustrasi, hahaha, kog gagal, tadi kayanya lancar-lancar aja..

Akhirnya saya menyerah, (bekas) curd tadi saya padatkan, entah mau jadi apa, siapa tau bisa jadi hard-cheese, hahaha, dream on..

Lalu suami bilang, apa kita salah pakai susu ya, buat bikin keju gak boleh pakai susu ultra lho..

*saya baru tau, gak ada tuh di teori yang saya baca, hahaha..

Lalu buru-buru liat di kemasan susu yang kami beli, dan voila! ini bukan susu ultra biasa, tapi ultra-pasteurised, alias dipanaskan di suhu 130 C selama 2 detik 😀 😀 😀

Jadi saya baca lagi tentang efek memakai UH utk membuat keju, eh taunya bener, buat bikin keju gak boleh pakai UH, apalagi UHT, hahaha, katanya perbedaan signifikan akan kelihatan setelah curd kita panaskan (iya sih, curd saya aneh setelah dimasukkan ke microwave).

Ya mana berhasil ya, hahaha, aduh sebenernya nangis, udah mubazir susu setengah galon, tangan panas, gagal, eh taunya salah dari bahan dasar, huehehe..

Tadinya mau share proses belajar bikin keju sambil foto langkah-langkah dari awal, tapi karena sibuk kerja jadi lupa, dan karena sendirian, tim dokumentasi gak ada, apalagi pas gagal, malah makin gak mood foto-foto, hahaha..

Lain kali akan didokumentasikan deh, sambil belajar membuat keju lain, setidaknya teori dulu, sekalian belajar keju-keju lain yang selama ini bikin tipis kantong 😀 😀

Sekian curhatan yang diketik dengan tangan yang masih panas.

Sapporo, 13 September 2015

Deasy, yang makin semangat nyari ‘ilmu sampingan’